Para bunda yang sudah dikaruniai anak, namun masih memilih untuk berkarier dengan alasan untuk membantu meringankan beban suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga, sadarkah bahwasanya buah hati kita jauh lebih penting daripada semua uang yang kalian cari? Ketahuilah, walaupun anak kita tidak mengatakannya langsung, namun dalam lubuk hati terdalamnya ia meronta memanggil bundanya.
***
Siang itu, sms mendarat di ponselku..
"Kami dari RS..menginfokan bahwa mulai besok tanggal...Anda bisa bergabung dan bekerja di RS kami, Terimakasih"
Senang? Tentu saja..karena kupikir inilah saatnya aku menajamkan kembali ilmuku. Toh tak ada yang salah dengan pekerjaan ini. Aku hanya akan melayani sesama wanita dan makhluk baru yang super lucu.
Berbekal izin dan ridho kekasih hati, kumantapkan diri...
"Aku akan kembali bekerja seperti saat aku belum berstatus menjadi seorang istri"
Dia, mengantarkanku ke RS itu. Dia berpesan agar aku senantiasa menjaga diri, kapan dan di manapun. Sementara si mungil cantik yang kala itu berusia 18 bulan kutitipkan bersama dengan kakak perempuanku. Segudang harapan tertumpuk dalam benak, aku akan berjuang membantu kaumku dan aku pun pasti bisa membagi waktuku dengan suami dan putri kecilku.
Satu jam berlalu tanpa ada aral melintang. Kudampingi seorang wanita yang berada dalam sebuah ruangan. Kami bersiap untuk berjuang dalam suatu fase yang amat sangat dirindukan semua wanita. Fase itu tak lain adalah persalinan.
Kuamati lembar kemajuan persalinan, saat itu pembukaan masih 4 dengan kondisi mulut rahim tipis dan kepala sudah masuk panggul, serta his yang adekuat. Perkiraanku hanya butuh waktu 2-3 jam ia akan segera melahirkan sang bayi.
Tiba-tiba ponselku berdering...
Dan terdengar suara dari seberang sana yang mengabarkan bahwa aku akan segera dijemput PULANG.
Hah??
Ya, aku harus pulang...karena putri kecilku menangis tiada henti hinga ia nyaris kehilangan suara dan tak lagi meneteskan air mata. Bahkan sampai terlihat sesak nafas.
Kala itu, egoku muncul...
Kenapa gak dihibur?
Kenapa gak diajak jalan-jalan?
Kenapa kakakku tidak bisa mendiamkan anakku?? Bukankah ia jg wanita? Bukankah sangat mudah bagi wanita untuk mendiamkan seorang anak kecil??
Namun, suara di seberang sana tak mau lagi mendengar jawabanku. Ia yang akan langsung menghadap Direktur RS dan ia memintaku bersiap karena 15 menit lagi ia akan sampai di RS ini.
Layu dan lemah rasanya tubuh ini. Aduhai, ini hari pertamaku kembali berkarir, ups bahkan jam pertamaku berada di RS. Kenapa aku harus menyudahinya secepat kilat?? Kuberanikan diri menghadap teman sejawatku dan kusampaikan apa adanya, bahwa aku HARUS pulang.
Dari luar pagar...
Kudengar jelas rintihan kecil dari putri mungilku...bergegas kucuci kedua tanganku dan menghambur ke arah suara itu...
Dan....
Anakku tersenyum, aku tak bisa memaknainya...
Katanya ia menangis tiada henti? Katanya ia sesak nafas? Katanya ia sulit didiamkan??
Ternyata??
Hanya dengan melihat wajahku, belum jua kusentuh dan kupeluk tubuh mungilnya...hilang sudah apa yang ia rasakan tadi. Ia tersenyum meski berat karena pengaruh isaknya. Ia mengulurkan kedua tangannya padaku, dan hanya ingin berada dalam pelukkanku
Duh Gusti...
Sebegitu berhargakah aku baginya??
Sebesar inikah ia membutuhkanku??
Betapa bodohnya aku, menukar semua ini dengan lembaran-lembaran uang yang pada hakikatnya akan musnah dalam sekejap!!
Kupandangi ia yang teramat tenang dalam dekapanku, ku kecup keningnya...ku bisikkan...
"Kau, tak kan terganti selamanya
***
Semoga bermanfaat...
------------
Sumber : 9kontroversi
***
Siang itu, sms mendarat di ponselku..
"Kami dari RS..menginfokan bahwa mulai besok tanggal...Anda bisa bergabung dan bekerja di RS kami, Terimakasih"
Senang? Tentu saja..karena kupikir inilah saatnya aku menajamkan kembali ilmuku. Toh tak ada yang salah dengan pekerjaan ini. Aku hanya akan melayani sesama wanita dan makhluk baru yang super lucu.
Berbekal izin dan ridho kekasih hati, kumantapkan diri...
"Aku akan kembali bekerja seperti saat aku belum berstatus menjadi seorang istri"
Dia, mengantarkanku ke RS itu. Dia berpesan agar aku senantiasa menjaga diri, kapan dan di manapun. Sementara si mungil cantik yang kala itu berusia 18 bulan kutitipkan bersama dengan kakak perempuanku. Segudang harapan tertumpuk dalam benak, aku akan berjuang membantu kaumku dan aku pun pasti bisa membagi waktuku dengan suami dan putri kecilku.
Satu jam berlalu tanpa ada aral melintang. Kudampingi seorang wanita yang berada dalam sebuah ruangan. Kami bersiap untuk berjuang dalam suatu fase yang amat sangat dirindukan semua wanita. Fase itu tak lain adalah persalinan.
Kuamati lembar kemajuan persalinan, saat itu pembukaan masih 4 dengan kondisi mulut rahim tipis dan kepala sudah masuk panggul, serta his yang adekuat. Perkiraanku hanya butuh waktu 2-3 jam ia akan segera melahirkan sang bayi.
Tiba-tiba ponselku berdering...
Dan terdengar suara dari seberang sana yang mengabarkan bahwa aku akan segera dijemput PULANG.
Hah??
Ya, aku harus pulang...karena putri kecilku menangis tiada henti hinga ia nyaris kehilangan suara dan tak lagi meneteskan air mata. Bahkan sampai terlihat sesak nafas.
Kala itu, egoku muncul...
Kenapa gak dihibur?
Kenapa gak diajak jalan-jalan?
Kenapa kakakku tidak bisa mendiamkan anakku?? Bukankah ia jg wanita? Bukankah sangat mudah bagi wanita untuk mendiamkan seorang anak kecil??
Namun, suara di seberang sana tak mau lagi mendengar jawabanku. Ia yang akan langsung menghadap Direktur RS dan ia memintaku bersiap karena 15 menit lagi ia akan sampai di RS ini.
Layu dan lemah rasanya tubuh ini. Aduhai, ini hari pertamaku kembali berkarir, ups bahkan jam pertamaku berada di RS. Kenapa aku harus menyudahinya secepat kilat?? Kuberanikan diri menghadap teman sejawatku dan kusampaikan apa adanya, bahwa aku HARUS pulang.
Dari luar pagar...
Kudengar jelas rintihan kecil dari putri mungilku...bergegas kucuci kedua tanganku dan menghambur ke arah suara itu...
Dan....
Anakku tersenyum, aku tak bisa memaknainya...
Katanya ia menangis tiada henti? Katanya ia sesak nafas? Katanya ia sulit didiamkan??
Ternyata??
Hanya dengan melihat wajahku, belum jua kusentuh dan kupeluk tubuh mungilnya...hilang sudah apa yang ia rasakan tadi. Ia tersenyum meski berat karena pengaruh isaknya. Ia mengulurkan kedua tangannya padaku, dan hanya ingin berada dalam pelukkanku
Duh Gusti...
Sebegitu berhargakah aku baginya??
Sebesar inikah ia membutuhkanku??
Betapa bodohnya aku, menukar semua ini dengan lembaran-lembaran uang yang pada hakikatnya akan musnah dalam sekejap!!
Kupandangi ia yang teramat tenang dalam dekapanku, ku kecup keningnya...ku bisikkan...
"Kau, tak kan terganti selamanya
***
Semoga bermanfaat...
------------
Sumber : 9kontroversi
0 Response to "Kau...takkan tergantikan selamanya.. (Renungan para Orang Tua)"
Post a Comment